Hiraeth

PROLOG.


"Kamu ngapain nutupin muka pake tissue terus dari tadi? Temen sebangku kamu bau?"  


Tanya bu mirna, guru Bahasa Inggris kelas 10. Suasana yang tadinya hening, seketika jadi tegang akibat perhatian kecil dari bu mirna, yang menurutku terlalu berlebihan memperhatikan ku. Hingga aku tidak bisa berkata apapun. Dan semua mata tertuju pada ku. 


Perasaan malu, takut, dan gemetar menjadi satu. Tidak terasa kerudung berwarna abu-abu yang ku kenakan jadi basah penuh keringat yang bercucuran. 


"Jerawat mrs. Ups.."  


Timpa jawaban dari teman sekelas ku, Ziza. Yaa, dia memang sering sekali berkata yang tidak pernah dipikir dulu sebelum bicara. Suka bercanda berlebihan, dan gemar mencari masalah dengan orang lain. Terutama dengan ku. 

Aku yang sudah malu nggak karuan akibat pertanyaan dari bu mirna tadi, makin menjadi karena jawaban pedas dari Ziza. 

Ini semua memang salah ku, yang sering insecure berlebihan dengan kondisi wajah ku yang ada beberapa jerawat dan bekas nya. Sering merasa minder dan malu jika bertemu dengan teman kelas lain ketika papasan di kantin, ataupun di depan kelas. 

Hal inilah yang membuatku enggan untuk berpacaran dengan kaka kelas ku, Fahri. Lelaki yang mirip sekali dengan mantan pacar ku dulu sewaktu kelas Sembilan di Sekolah Menengah Pertama. 

Aku yang begitu mencintainya, dan menganggap bahwa hubungan itu akan berakhir bahagia seperti di drama-drama korea. Nyatanya hanya sekedar percintaan monyet, yang kerap kali orang lain ucap. 

Namun, aku masih belum bisa melupakannya begitu saja. Sampai suatu ketika di lapangan sekolah, aku melihat seseorang yang mirip sekali dengannya. Sulit sekali awalnya mencari tahu siapa namanya. Sampai suatu ketika, awal mula dari sinilah aku mengetahui siapa nama cowok itu yang mirip sekali dengan mantan pacar ku dulu.

"Sensei, kenal sama cowok yang diri di depan pintu sana nggak?"

Tanyaku kepada seorang guru Bahasa Jepang. Biasa semua murid memanggilnya dengan sebutan sensei Riki. Salah satu guru yang sangat akrab dengan semua murid, termasuk denganku juga.

"Yang manasih? Saya nggak liat." Tanya sensei sambil memutar lagu di headset dari handphone nya.

"Yang itu sei, pake celana batik dan pake jam tangan warna item." Jawab ku seraya melihat ciri-ciri yang dikenakan oleh cowok yang mirip sekali dengan mantan ku dulu.

Bukannya menjawab pertanyaanku tapi justru sensei malah memanggil seorang murid yang sedang bersama dengan cowok itu. Hampir membuatku merasa sangat malu. Akhirnya aku mencoba mengumpat dibelakang pintu hihi.

"Abecede!! Sini kamu!" Panggil sensei kepada seorang murid laki-laki yang sedang bersama dengan cowok itu.

"Kenapa sei?" Jawab murid itu seraya menghampiri sensei.

"Coba panggil cowok yang ada di dalem kelas itu, yang pake celana batik dan pake jam tangan warna item. Suruh mengahadap saya sekarang." Perintah sensei kepada murid itu.

Tidak lama kemudian, murid tadi membawa cowok yang aku maksud ke sensei. Hahaha. Antara mau seneng atau malu nih ceritanya. Wkwkwk.

"Inka mana inka? Inka sini. Nih orangnya kan?" Panggil sensei kepadaku disaat aku mencoba mengumpat dibalik pintu ruang guru.

"E.. e iya sei saya disini." Jawabku terbata-bata.

"Yaudah sekarang mau ngapain?" Tanya sensei yang buat ku semakin gerogi nggak karuan.

"Coba minta foto rame-rame sei" ucapku seraya berbisik kecil di samping sensei. Karena tak kuasa menahan malu.

"Ayo, Ri kita foto rame-rame." Ajakan sensei mengajak cowok tadi dan semua orang yang berada disitu termasuk aku dan sahabat ku Bila.

Setelah berhasil foto, tidak lama cowok itu pun kembali ke kelasnya. Disaat inilah kesempatan ku untuk bertanya kepada sensei siapa nama cowok tadi.

"Hmm sei, saya mau tanya." Ucap ku seakan sudah berani berkata kepada sensei. 

"Tanya apa? Waktu saya nggak banyak nih. Bentar lagi saya harus ngajar lagi." Jawab sensei dengan cepat.

"Cowok yang tadi sensei panggil, namanya siapa sei?." Tanyaku penasaran.

"Oh itu, kamu suka ya? Hayo ngaku." Kali ini sensei malah berbalik tanya dan justru malah memojokkan ku. Hufftt.

"Ka... kata siapa sei? Enggak. Saya cuma pengin tahu aja. Soalnya dia mirip banget sama temen kecil saya." Jawabku mengelak.

"Namanya si Fahri, dia kelas sebelas. Udah punya pacar, namanya disty." Jawab sensei seraya bergegas pergi menuju ruang kelas untuk bersiap mengajar lagi.


Dan inilah kisahnya, dimulai.




1.



Cuaca pagi yang cerah disertai udara yang sejuk akan embun pagi, menandakan bahwa alam menyambut mu dengan senyuman, dan Tuhan memberkatimu dengan salam. Hari ini adalah hari pertamanya Inka berangkat sekolah ke SMA 13 Jakarta. Yaa, Inka adalah siswi yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ia diantar ke sekolah bersama dengan kaka ipar dari Ibu nya. Biasa ia memanggil dengan sebutan Mba umah.

"Mba.... ayo berangkat sekarang" ucap Inka.

"Kamu udah sarapan belum? Kalo belum sarapan dulu sana" balas Mba Umah.

"Udah mba tadi, ayo berangkat. Keburu siang takut nanti telat" ucap Inka

"Yaudah hayuk" balas Mba Umah.

Mereka pun berangkat ke sekolah baru Inka dengan mengendarai sebuah motor matic. Kebetulan rumah nya Mba Umah tidak jauh dari rumah Inka, dan untuk sementara ini Inka memang diantar jemput ke sekolah oleh Mba Umah, yakni kaka ipar Ibu dari Inka.



################



Sesampainya di sekolah, ternyata sudah ramai dan banyak orang tua lain yang mengantarkan anaknya ke sekolah.

"Nanti mba jemput kamu jam berapa?" tanya Mba Umah.

"Belum tau mba, kalo pulangnya cepet aku naik angkot aja" jawab Inka.

"Yaudah" balas Mba Umah singkat.

Langsung saja Inka memasuki ke dalam gedung sekolah barunya, begitu luas dan ramai. Inka tak mengenal satupun dari mereka, sampai akhirnya Inka bertemu dengan salah satu teman dari  alumni SMP nya dulu. Namanya Bila, anaknya agak tomboy dan cenderung cuek.

"Eh lu sekolah disini juga?" Tanya Bila.

"Iyaa, ketemu lagi ya kita" ucap Inka.

"Iya ya, btw lo ga ada barengan gitu dari SMP selain gue?" tanya Bila ke Inka.

"Belum tau, soalnya yang gue temuin baru lo doang sih" jawab Inka.

Ga beberapa lama, upacara penerimaan siswa baru pun di mulai. Tepat di angka jam 07.00 WIB, semuanya pun berbaris sesuai dengan kelas nya masing-masing. Tak ada teman, ataupun orang yang dikenal. Hanya diam dan berdiri dibawah teriknya matahari sambil mendengarkan pidato dari Kepala Sekolah baru Inka di Sekolah ini.

Tidak memakan waktu lama, akhirnya selesai. Semua murid dibubarkan dan tak ada kegiatan belajar mengajar untuk hari pertama ini. 

"Huffftt! Akhirnya selesai juga" Ucap Inka.

Melihat ke arah jam tangan sudah pukul 08.45 WIB yang mengharuskan Inka segera pulang ke rumah. Tidak ada yang menjemput, ataupun menawarkan tumpangan. Inka bergegas pergi dari sekolah dan berjalan seorang diri menyusuri jalan ke arah jalan raya. Akhirnya ia sampai dan baru saja sampai di tempat menunggu kendaraan umum datang, terlihat dari kejauhan ada satu angkot yang datang ke arah Inka. Langsung saja ia menaiki angkot tersebut yang kini sudah berhenti di depannya.

Sekitar 8 menit diperjalanan, kini Inka pun harus turun di pertigaan jalan raya. Karena angkot yang di tumpangi nya hanya berhenti sampai disana. Mau tidak mau ia harus berjalan kaki sekitar 15 menit dari jarak tersebut untuk sampai ke rumah.
"Huffffttt jalan kaki.... lagi dan lagi" gumam Inka.




########################



Sesampainya dirumah, ia langsung melepaskan sepatu tanpa melepas kaos kaki yang ia pakai. Dan bergegas untuk ke kamar untuk merebahkan tubuhnya yang terlihat amat sangat lelah. Melihat ke arah jam dinding di kamar, tak terasa sudah pukul 09.45 WIB. Suasana rumah yang masih sepi. Tidak ada seorang pun di rumah terkecuali Inka.  Ibu masih di sekolah Naufal untuk mengantarnya sekaligus menunggunya. Naufal ialah adik Inka yang berusia 5 tahun. Yang kini duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK). Ayahnya Inka ialah seorang Tentara, dan Ibu nya tidak bekerja. Hanya mengurus rumah tangga saja. 

Sejak kecil, Inka sudah jadi anak broken home. Tidak memiliki keluarga yang harmonis seperti kebanyakan orang pada umumnya. Tinggal satu atap dengan keluarganya, tapi semuanya hanya mementingkan diri sendiri. Tidak ada yang peduli dengan sekolah nya Inka, tak ada juga yang peduli akan apa yang ia lakukan di luar rumah maupun di dalam rumah. Broken home bukan hanya bagi orang tua yang sudah bercerai atau sudah pisah, melainkan juga anak yang tidak pernah mendapat kehangatan atau kasih sayang dari orang tua di dalam  keluarganya. 

Tapi inilah yang membuat Inka menjadi sosok gadis yang dewasa sebelum waktunya. Membuat ia berpikir sebelum bertindak dan mengambil sebuah keputusan dalam hidupnya.




2.

2.



Membaca novel adalah hobinya sejak ia menduduki bangku kelas VIII di Sekolah Menengah Pertama. Ia memanfaatkan gadget yang ia gunakan untuk membaca dari aplikasi wattpad. Karena tak cukup uang untuk membeli sebuah novel. Lagipula, banyak cerita yang ia dapatkan di perpustakaan online nya, tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Sambil mendengarkan lagu dengan headset yang ia gunakan, membuatnya merasa lebih bahagia dan masuk ke dalam cerita yang ia baca,  melupakan segalanya yang ia rasakan selang bertahun-tahun belakangan. Berharap ada seseorang yang datang ke dalam kehidupannya dan memberi warna dari kehidupannya yang kelam.

Pukul 07.00 di sekolah

Inka tengah duduk di bangku barisan paling depan seorang diri. Tiada teman baru yang bergabung dengannya, karena semua teman kelasnya sudah dapat teman sebangku nya masing-masing. Sambil menulis kata-kata di buku tulis yang kini sudah ia buka di atas meja, tidak lama kemudian ada seorang murid yang baru saja telat datang dan izin untuk duduk bersama dengan Inka. Tak butuh waktu lama Inka pun menyetujuinya.

"Hai! Kamu duduk sendiri ?" Tanya gadis itu.

"Iya, aku sendiri kok." Jawab Inka.

"Boleh aku duduk disini?" Tanya gadis itu lagi. 

"Boleh kok, duduk aja." Jawab Inka singkat.

"Kalau boleh tahu, siapa nama kamu? Kenalin, aku Maya." Tanya gadis itu sambil memperkenalkan dirinya.

"Aku Inka." Jawab Inka singkat sambil tersenyum kepada gadis yang bernama Maya itu.

"Aku boleh minta nomer handphone kamu nggak? Buat kalau ada apa-apa aku bisa tanya-tanya sama kamu." Tanya maya.

"Boleh kok, ini nomernya." Jawab inka sambil menuliskan beberapa digit angka nomer telepon nya.

"Oke makasih. Ngomong-ngomong kamu dari sekolah mana asalnya? Aku dari Cianjur, dan baru pindah ke daerah sini. Kalo kamu?" Tanya Maya sambil menjelskan singkat darimana ia berasal.

"Aku asli dari Jakarta, dan memang tinggal disini sejak lama. Aku dari sekolah SMPN 03 Jakarta, kalo kamu?" Jawab Inka.

"Ooh, orang asli sini. Hmmm kalau aku dari pesantren, tapi awalnya aku mau masuk SMK, karena aku juga nggak tahu sekolah-sekolah disini. Jadi, aku cuma tahu sekolah ini. Yaudah deh, langsung daftar aja hehe." Jelas Maya.

Pertemanan mereka pun berangsur lama, karena ternyata dari pihak sekolah ada perubahan kelas yang mana setiap kelas akan di acak semua murid nya untuk di pindahkan ke kelas lain. Dan Inka dengan Maya pun berpisah. Tapi kelas Inka tetap di kelas pertama yang ia masuki, sementara Maya harus pindah ke kelas sebelah. 

Awal mula dari sinilah Inka mendapat perlakuan tidak baik, ketika mendapat teman baru yang berbeda dengan teman kelas sebelumnya. 
Suasana awalnya nampak asik kelihatannya, namun diantara mereka semua hanya beberapa yang bersikap ramah. Sejua nampak seperti sudah mengenal lama satu sama lain terkecuali Inka sendiri. 

Anak laki-laki dan perempuannya nampak sangat akrab, sampai adanya perdebatan receh di antara mereka semua. Rasanya ingin sekali bergabung, namun hati  enggan memulai karena rasa canggung itu sendiri. 

"Haha bodoamat gue alay yang penting gue ber-otak :p"

Ucap salah seorang anak perempuan yang tidak sengaja di dengar oleh Inka disebut-sebut alay oleh semua anak laki-laki dikelasnya. Terlihat dari ekspresi wajah mereka semua yang seakan-akan itu semua hanyalah candaan. 

"Halah alay aja bangga lu lay hahaha. Nem lu pasti kecil gua rasa, makanya lu masuk sekolah ini kan? Hahaha" 

Balas ucapan dari seorang anak laki-laki dikelas Inka yang sama sekali tidak  dikenal oleh Inka.

"Halah bacot lu pada, nem gue gede coy. Ada juga nem lu lu pada yang kecil. Makanya ga diterima deh lu di SMANSATU hahahaha"

Balas seorang anak perempuan tadi dengan nada emosi kali ini. 



Yaa begitulah suasana di kelas Inka yang sekarang. Berisik, dan penuh dengan suara riuh debatan antara anak laki-laki dengan anak perempuan yang tak kunjung reda. Entahlah sampai kapan mereka berdebat tidak jelas seperti itu. Inka hanya diam dan menyimak pembicaraan mereka semua, tanpa mengucap sepatah kata pun dari mulutnya. 




3.

Komentar